Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah alat pertahanan Negara, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel. TNI tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi. Tulisan ini secara khusus membahas mengenai Edy Rahmayadi, mantan Pangkostrad yang ikut serta dalam pilkada 2018 dan menyatakan pencalon dirinya ketika masih dalam jabatan. Tulisan ini menggunakan pendekatan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Aktivitas politik Edy Rahmayadi sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat adalah bentuk politik praktis. Beliau aktif melobi partai pendukung dan mengutarakan niatanya hendak mencalonkan diri saat masih menjabat Pangkostrad. Namun, karena batasan yang masih kurang mendetail perihal kategori larangan politik praktis bagi TNI, membuka celah hukum bagi aktifitas politik TNI yang dibiarkan begitu saja. Selain karena penjabaran yang terbatas dalam undang-undang TNI, undang-undang tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pun sebagai dasar hukum pemilihan kepala daerah memberi ruang mencalonkan diri bagi TNI sepanjang mengajukan pengunduran diri dari jabatan dan keanggotaan. |