Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, Kementerian kesehatan berwenang membuat peraturan teknis dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Hal tersebut sudah dilakukan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penyusunan permen diatur sendiri-sendiri oleh internal kementerian. Tampaknya sinergitas antar Kementerian belum terlaksana dengan baik. Hal ini dilihat dari penanganan Covid-19 di Indonesia. Kementerian melakukan tindakan sendiri-sendiri misalnya Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan Permenkuham No. 10 Tahun 2020 dan Kementerian Perhubungan memperbolehkan ojek online untuk beroperasi (Permenhub Nomor 18 tahun 2020 yang sekarang diubah menjadi Permenhub 41 Tahun 2020). Kedua peraturan menteri tersebut bertabrakan dengan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang PSBB. Jika terdapat peraturan menteri yang saling bertabrakan, timbullah permasalahan yaitu peraturan mana yang dipakai? Siapa yang bertanggung jawab apabila permen tersebut merugikan? Maka perlu ditinjau upaya sinkronisasi dan harmonisasi antara permen. Penelitian bersifat yuridis normatif, menggunakan metode Studi Literatur, Wawancara dan Metode Analisis Data. Teori yang digunakan adalah teori Kewenangan, teori Pemerintahan Presidensial, dan Kementerian Negara. Apabila dilihat dari teori kewenangan pembentukan peraturan a quo jelas timbul atas dasar kewenangan delegasi. Kesimpulan singkat apabila terjadi tuntutan hukum pada Permenkes a quo maka tanggung jawab ada pada Kementerian Kesehatan. Upaya untuk menyelaraskan antar peraturan menteri dapat ditempuh dengan cara Judicial Review, Mediasi oleh Kemenkuham, dan menerapkan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, Lex Specialis Derogat Legi Generalis, dan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori. |