Desain Industri bagian dari hak atas kekayaan intelektual. Dalam Pasal 2 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (“UU Desain Industri”), mensyaratkan jika suatu desain harus memiliki unsur kebaruan untuk dapat didaftarkan. Unsur kebaruan yang dimaksud yakni tanggal penerimaan suatu desain industri “tidak sama” dengan pengungkapan desain sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, timbul 2 (dua) interpretasi yang bertentangan yaitu sebuah desain dapat dinyatakan baru apabila ada perbedaan sedikit saja atau harus berbeda secara signifikan dengan desain terdahulu. Berdasarkan alasan tersebut, penulis meneliti bagaimana implementasi unsur kebaruan dalam pemberian hak desain industri dan bagaimana perkembangan unsur kebaruan dalam praktik hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi unsur kebaruan dan perkembangannya dalam praktik hukum, sehingga penelitian ini penting untuk dapat menghindari multitafsir, inkonsistensi putusan pengadilan, dan hal-hal yang merugikan pendesain maupun konsumen. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif menggunakan data sekunder yaitu dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan ditunjang degan data primer yakni wawancara dengan praktisi dan akademisi. Dari penelitian ini ditemukan bahwa implementasi unsur kebaruan dilihat dari sama atau tidak samanya sebuah Desain Industri yang didaftarkan dengan desain yang terdahulu. Dalam perkembangan praktik hukum, yakni dalam tahap pemeriksaan, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual ("DJKI") tidak lagi berdasar pada sama atau tidak samanya sebuah desain industri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UU Desain Industri, namun juga berdasar pada Petunjuk Pelaksanaan Internal DJKI dimana didalamnya menyatakan bahwa Desain Industri dapat dinyatakan baru jika dilihat dari desain secara keseluruhan mempunyai perbedaan signifikan dengan desain terdahulu. |