Kepailitan pada hakikatnya berawal dari debitur yang pada akhirnya tidak mampu untuk melunasi utang tepat waktu, yang mengakibatkan segala harta milik debitur, baik tidak bergerak maupun bergerak, yang telah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan atas utangnya dan dapat dijual untuk melunasi utang-utangnya. Perkembangan transaksi bisnis dan sektor usaha internasional/lintas batas negara memungkinkan seseorang dapat memiliki harta, baik aktiva maupun pasiva di beberapa negara. Hal tersebut menyebabkan adanya kemungkinan pada keadaan perusahaan pailit, letak aset terdapat di negara lain. Dengan demikian, Penulis merasa penting untuk membahas lebih lanjut terkait pengaturan cross-border insolvency di Indonesia dan perbandingannya dengan Singapura. Skripsi ini menggunakan metode Yuridis Normatif. Terdapat dua subjek hukum dalam kepailitan yaitu manusia (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechtpersoon), yang mana terhadap upaya penyelesaian utang dilunasi dengan menggunakan objek pailit atau aset debitur yang disita dan dikelola oleh pihak kurator, diawali dengan pemberesan dan pembagian. Hingga saat ini, Indonesia hanya mengenal penyelesaian harta kepailitan pada batas teritorialnya saja, sedangkan terhadap harta kepailitan yang berada di lintas batas negara hanya ditekankan untuk digantikan nilainya agar menjadi harta pailit. Namun hal tersebut berbeda dengan negara Singapura yang telah meratifikasi UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency dan menerapkan perjanjian bilateral. Melalui hasil ratifikasi dan perjanjian bilateral tersebut, membuat upaya penyelesaian aset lintas batas dalam pailit dapat lebih mudah untuk dimasukkan sebagai harta pailit. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia perlu untuk meratifikasi UNCITRAL Model Law dan mengadakan perjanjian bilateral sebagai upaya dalam mempermudah proses penyelesaian kepailitan dengan aset lintas batas. |