Dengan perkembangan teknologi yang pesat, Persidangan di Indonesia juga telah berkembang dalam praktik. Seperti contohnya di Indonesia, sudah dilaksanakannya Sidang Perdata secara Elektronik (Electronic Court). E-Court merupakan sebuah akun yang dapat diakses oleh pihak berperkara saja, seperti Advokat dan Pengguna Lain atau Perorangan. Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2019, mengatakan bahwa Persidangan Elektronik tersebut mencakup beberapa hal seperti penyampaian gugatan, permohonan, intervensi, jawaban, replik duplik, pembuktian, kesimpulan serta pengucapan putusan. Sejatinya, Hukum Acara Perdata memiliki Asas Persidangan Terbuka untuk Umum yang dapat dihadiri oleh masyarakat luas, khususnya terkait dengan agenda Pembuktian dan Putusan Hakim itu sendiri. Terkait dengan itu, muncul permasalahan: (1) Bagaimana Penerapan Asas Sidang Terbuka untuk Umum dan Putusan Hakim pada E-Court yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2019 jika dikaitkan dengan HIR, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman?, (2) Bagaimana akibat hukum dari Putusan Hakim jika aturan dalam PERMA No.1 Tahun 2019 bertentangan dengan HIR dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman?. Penelitian ini menggunakan Metode Yuridis Empiris, dengan mengkaji ketentuan hukum yang berlaku dan yang terjadi dalam masyarakat serta mengkaji beberapa peraturan Perundang-undangan terkait. Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa adanya E-Court, dapat mempersingkat waktu para pihak berperkara. Dalam penerapannya, E-Court tetap melaksanakan Asas Persidangan Terbuka untuk Umum sesuai UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikarenakan agenda Pembuktian dan Putusan Hakim tetap dilaksanakan tatap muka di Pengadilan sesuai dengan KUHPerdata dan HIR dan dapat dikatakan bahwa Putusan Hakim tidak batal demi hukum. |