Hingga 2019, masih terdapat 1.626 tersangka kasus narkotika, dan jumlahnya terus meningkat. Meningkatnya jumlah tersangka kasus narkotika akhirnya menyebabkan terjadinya kelebihan kapasitas jumlah penghuni LAPAS Narkotika. Kondisi LAPAS saat ini mengalami over capacity sekitar 50% dari kemampuan LAPAS mengelola penghuninya. Kondisi ini akhirnya mempersulit pemenuhan hak asasi bagi narapidana, serta pemenuhan tujuan pemasyarakatan yang tercantum dalam UU Pemasyarakatan, agar narapidana dapat memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidananya, dan dapat diterima kembali di masyarakat. Hal ini memunculkan apa yang menjadi penyebab terjadinya kelebihan kapasitas populasi narapidana pada LAPAS Narkotika dan bagaimana penanggulangan kelebihan kapasitas tersebut. UU Narkotika yang bersifat punitif, memaksa pengguna dan pecandu untuk berhadapan dengan hukum dengan sanksi pemenjaraan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kelebihan kapasitas dalam LAPAS. Hal ini salah satunya disebabkan karena rumusan ketentuan pidana UU Narkotika yang terlalu luas dan keketatan pembuktiannya sangat rendah, sehingga aparat cenderung memidanakan pengguna dibanding merehabilitasi serta sangat mudah memasukan semua orang yang berhubungan dengan narkotika ke dalam ketentuan pemidanaan baik sebagai pemilik, menguasai, atau menggunakan narkotika. Kekerasan, korupsi birokrasi, dan testilying oleh aparat, serta stigma penyalahgunaan narkotika sebagai “kejahatan”, juga memicu pemenjaraan pengguna narkotika. Slogan War on Drugs yang bersifat punitif terbukti gagal meredam permasalahan narkotika dan membutuhkan alternatif kebijakan yang lebih baik. Dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan melalui kebijakan diversi dan diskresi di Indonesia bisa menjadi jalan keluar dalam penanggulangan kelebihan kapasitas dalam LAPAS. Upaya ini terbukti menurunkan jumlah penghuni LAPAS Narkotika dan mengurangi terjadinya tindak pidana narkotika di berbagai negara. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan data bersifat sekunder. |