Individu dengan kondisi ketidakmampuan melihat yang bukan bawaan dari lahir, atau adventitious blindness, mengalami beberapa kesulitan mencapai pemaknaan hidup karena adanya keterbatasan fisik, terutama ketika bertambah dewasa. Beberapa tugas perkembangan sesuai tidak dapat dipenuhi, apalagi bagi perempuan yang sering mendapat tekanan lebih dari masyarakat. Meskipun demikian, Bastaman menyebutkan bahwa dalam penderitaan, orang tetap dapat menemukan pemaknaan hidup. Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana perempuan dewasa awal dengan adventitious blindness mencapai pemaknaan hidup dalam penderitaannya. Penelitian ini meneliti makna hidup berdasarkan konsep hidup bermakna Bastaman (1996). Penelitian kualitatif ini menggunakan teknik wawancara semi terstruktur untuk menggali informasi dengan pendekatan deskriptif fenomenologi. Teknik pemilihan partisipan adalah purposeful sampling. Ada tiga partisipan perempuan dewasa awal, usia 20-40 tahun yang mengalami kebutaan setelah berusia lima tahun dan kehilangan penglihatan karena penyakit dan menjadi totally blind secara berangsur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaknaan hidup didapatkan sesuai sembilan tahapan. Penghayatan tak bermakna berasal dari aktivitas yang tidak bisa dilakukan lagi ketika mengalami kehilangan penglihatan (misalnya: bersekolah, kuliah, berteman, menggunakan handphone, dan membaca buku). Penghayatan hidup bermakna berasal dari kesadaran bahwa mereka tetap bisa melakukan banyak hal meskipun mereka tunanetra. Perasaan bahagia tidak selalu berasal dari tujuan hidup yang telah berhasil dicapai, melainkan dapat berasal dari apa yang dimiliki saat ini (misalnya: keluarga yang selalu perhatian dan peduli). Dukungan sosial dari organisasi mempunyai pengaruh dalam mencapai pemaknaan hidup. |