Agama Katolik mengakui satu pernikahan tak terceraikan. Pada realitanya, tingginya angka pasangan yang berpisah untuk selamanya, yang setara dengan perceraian. Bagi seorang perempuan, perceraian menimbulkan reaksi psikologis yang berat. Beban perpisahan dan perceraian bertambah ketika individu beragama Katolik, individu yang berpisah tidak dapat bercerai dan harus menerima berbagai konsekuensi, termasuk penghilangan hak untuk menerima Sakramen dan eks-komunikasi (prosedur formal Gereja untuk pelanggaran berat). Penerapan hukum Katolik yang khas menimbulkan reaksi emosi yang berbeda dari peristiwa perceraian lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran fase kedukaan, faktor yang mempengaruhi kedukaan, serta kaitannya dengan konseling pendekatan terapi naratif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan bersifat penelitian terapan dimana penggalian data diiringi dengan konseling berbasis pendekatan terapi naratif. Hasil penelitian ini adalah semua fase kedukaan dilalui partisipan dengan durasi relatif lama dan adanya pengulangan fase. Fase yang relatif lama dilalui adalah fase refleksi dan emosional serta fase penerimaan. Faktor dukungan sosial, cara mengatasi kedukaan dan latar belakang etnis, sosial budaya, agama dirasa sangat membantu pemulihan. Konseling berbasis pendekatan terapi naratif membantu kedua partisipan dalam memahami diri, menelusur pikiran dan perasaan yang berkontradiksi, serta menemukan makna baru hidupnya. |