Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan salah satu gangguan perkembangan yang dapat terjadi pada anak usia dini. Diagnosa ASD yang diberikan pada anak dapat berdampak pada kondisi orangtua, termasuk ayah. Meskipun demikian, penelitian mengenai orangtua dengan anak ASD lebih banyak membahas mengenai ibu sebagai pengasuh utama. Berbeda dengan ibu, ayah dengan anak ASD dapat merasa keterbatasan yang dimiliki oleh anak mengganggu gambar diri dan kebanggaan dirinya sebagai ayah. Oleh karena itu, ayah perlu untuk melalui proses penerimaan diri. Proses tersebut dapat dilihat melalui lima tahapan berduka yang dikemukakan oleh Kubler-Ross, karena ayah yang memiliki anak ASD juga mengalami perasaan kehilangan dan duka. Dalam hal ini, kehilangan yang dimaksud adalah kehilangan harapan untuk anaknya. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah melihat proses penerimaan diri ayah yang memiliki anak ASD. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah partisipan sebanyak tiga orang ayah yang memiliki anak ASD. Diagnosa ASD yang diterima oleh anak merupakan diagnosa yang resmi diberikan oleh psikolog atau dokter. Ketiga partisipan tersebut dipilih menggunakan teknik purposive sampling dengan karakteristik anak masih berusia 3-10 tahun. Dalam proses pengambilan data, peneliti melakukan wawancara dan observasi terhadap ketiga partisipan tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, peneliti kemudian menganalisa dengan melakukan coding. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa setiap partisipan telah mencapai tahap acceptance dan telah melewati tahap denial, anger, bargaining dan depression dengan bentuk yang berbeda-beda. Tahapan tersebut juga tidak selalu berjalan berurutan. Pada bagian diskusi, peneliti membahas temuan unik dari hasil wawancara seperti perubahan pola kerja pada ayah semenjak anak menerima diagnosa ASD. Selain itu, pada dua partisipan peran komunitas di media sosial juga berpengaruh dan membantu ayah dalam proses penerimaan diri mereka. |