Anda belum login :: 23 Nov 2024 22:12 WIB
Home
|
Logon
Hidden
»
Administration
»
Collection Detail
Detail
Pemikiran Hannah Arendt Mengenai Kekerasan Dalam Kekuasaan
Oleh:
Jena, Yeremias
Jenis:
Article from Journal - ilmiah nasional - terakreditasi DIKTI
Dalam koleksi:
Diskursus: Jurnal Filsafat Teologi STF Driyarkara vol. 10 no. 02 (Oct. 2011)
,
page 166-190.
Topik:
kekerasan (violence)
;
kekuasaan (power)
;
demokrasi (democracy)
;
polis
;
kata (speech)
;
tindakan (action)
;
diskursus publik (public discourse)
;
JABFUNG2014
Fulltext:
Yeremias Jena (Bernard) 2 - text.pdf
(7.09MB)
Ketersediaan
Perpustakaan PKPM
Nomor Panggil:
D49
Non-tandon:
1 (dapat dipinjam: 0)
Tandon:
tidak ada
Lihat Detail Induk
Isi artikel
Hannah Arendt rejected the idea that violence is a justified means of defending democratic power for all cost. For her, violence can only be justified as “last resort” to combat democratic dissidents and the abuser of power. This paper shows that exercising democratic rule in a “polis” supported by the use of violence as last resort may lead to a tyranny of the majority, given that a democratic political discourse is determined mostly by the level of education, economic circumstances, social status, and the access to information. On the other hand, the use of violence for any reason in fact is the cause of the arbitrariness of the state in repressing its people in the name of national security. This paper maintains the position that the combination of participatory democracy proposed by Hannah Arendt and commonly practiced of constitutional democracy can overcome the tyranny of the majority as well as preventing the abuse of power by a democratic ruler. *** Menurut Hannah Arendt, kekerasan tidak dapat dibenarkan sebagai alat mempertahankan kekuasaan yang demokratis. Kekerasan hanya bisa dibenarkan sebagai “pertahanan terakhir” menghadapi para pengacau dan pembangkang kekuasaan demokratis. Paper ini menunjukkan bahwa di satu pihak kekuasaan demokratis dalam sebuah polis yang didukung oleh praktik kekerasan yang legitim sebagai pertahanan terakhir justru berbahaya karena bisa menciptakan tirani mayoritas, mengingat bahwa diskursus politik yang demokratis sebagai watak utamanya banyak kali lebih ditentukan oleh tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, status sosial, dan akses informasi. Di lain pihak, penggunaan kekerasan sebagai “pertahanan terakhir” itu bisa menciptakan kesewenang-wenangan negara dalam menindas rakyatnya atas nama keamanan nasional. Tulisan ini mempertahankan posisi bahwa gabungan antara demokrasi partisipatoris sebagaimana diusulkan Hannah Arendt dan demokrasi konstitusional yang lazim dipraktikkan dewasa ini bisa menjadi jalan keluar mengatasi bahaya tirani mayoritas sekaligus mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan yang demokratis.
Opini Anda
Klik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!
Kembali
Process time: 0.015625 second(s)