Etnis Tionghoa tidak jauh dari masalah diskriminatif di Indonesia. Namun, peristiwa yang penting bagi sejarah Tionghoa di Indonesia adalah tentang kebijakan diskriminatif yang dibuat mengenai status kependudukan, pergantian nama, sampai larangan mengeskspresikan agama, bahasa dan politik dirasakan oleh masyarakat etnis Tionghoa. Puncak diskriminatif yang dapat digaris bawahi adalah saat terjadinya Tragedi 98 dimana Tionghoa dijadikan kambing hitam dan menjadi korban penganiayaan, pemerkosaan, perusakan barang, penjarahan, dan sebagainya (Da Silva, 2010. Setelahnya, pada tahun 2000, toleransi meninggi dapat dilihat dalam pemerintahan Gus Dur yang menghapus kebijakan diskriminatif untuk Tionghoa dan pada tahun 2014 terdapat kebijakan penggantian kata “Cina” menjadi “Tionghoa. Sosok Ahok muncul pada 2012 sebagai calon Gubernur DKI Jakarta bersama Joko Widodo. Menanggapi hal ini, isu rasial serta demo-demo di Indonesia semakin meningkat. Generasi dewasa muda beretnis Tionghoa, khususnya yang berumur 19-23 tahun tidak merasakan secara langsung peristiwa 98. Namun, mereka juga menjadi first time voters saat munculnya sosok Ahok yang menjadi penyebab meningkatnya isu rasial. Dengan demikian, karena kurangnya penelitian di ranah representasi sosial di kalangan dewasa muda, penelitian ini bertujuan untuk melihat pemaknaan mereka terhadap tokoh Ahok. Penelitian ini menggunakan metode mixed method . Pendekatan kuantitatif untuk mengetahui central core dan peripheral , dan kualitatif berupa wawancara untuk mengonfirmasi dan menggali data kuantitatif. Hasil temuan ini didapatkan dari 243 responden yang tersebar di DKI Jakarta ini mendapatkan 13 kategorisasi dengan enam buah elemen central core, yaitu Gubernur, Sifat Positif, Identitas, Identitas Etnis, Penistaan, dan Penjara, sedangkan tiga buah elemen peripheral system yaitu, Sifat Negatif, Kehidupan Keluarga, dan Dukungan Masyarakat untuk menjawab apa representasi sosial tentang Ahok pada usia dewasa muda (19-23 tahun). |