Laki-laki yang menjadi ayah tunggal akibat kematian pasangan mengalami tantangan yang lebih besar daripada perceraian, yaitu perasaan sedih yang lebih mendalam dan perubahan besar pada kondisi rumah tangga. Seorang ayah tunggal kini harus memenuhi peran ganda dalam rumah tangganya, akan tetapi hal tersebut dapat menjadi tantangan bagi seorang laki-laki, dimana pengasuhan anak cenderung diorentiasikan sebagai peran dari seorang wanita. Pengasuhan bagi ayah tunggal yang memiliki anak usia dini juga cenderung lebih sulit, dimana anak usia dini sedang berada pada tahap eksplorasi dan cenderung menunjukkan permasalahan tingkah laku. Meskipun demikian, keterlibatan ayah sebagai orangtua memiliki peranan penting dalam perkembangan kognitif, sosial, maupun emosional anak secara jangka panjang. Salah satu faktor yang berperan penting terhadap keterlibatan ayah adalah fathering self-efficacy, yaitu keyakinan yang dimiliki ayah terhadap kemampuannya untuk mengasuh anak. Dengan adanya tantangan yang dihadapi oleh ayah tunggal untuk mengasuh anak usia dini, fathering self-efficacy berperan penting agar ayah terlibat secara aktif untuk mengasuh anak meskipun tidak menerima bantuan dari istri. Berdasarkan penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa penelitian-penelitian mengenai pengasuhan orangtua tunggal cenderung lebih berfokus pada perspektif seorang ibu tunggal. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran dimensi dari fathering self-efficacy ayah tunggal yang mengasuh anak usia dini. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, dan metode wawancara semi terstruktur. Adapun teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah homogeneous sampling. Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini merupakan dua orang ayah tunggal yang kehilangan istri akibat kematian, kedua partisipan mengasuh anak yang berusia dini, dan berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Wawancara dengan partisipan dilakukan sebanyak tiga kali dengan durasi kurang lebih dua jam pada setiap pertemuan, dan pada akhir proses penelitian, peneliti menyampaikan hasil penelitian untuk melakukan verifikasi data yang didapatkan dari proses wawancara. Berdasarkan hasil penelitian, kedua partisipan memiliki keyakinan yang beragam pada setiap dimensi dari fathering self-efficacy. Pada dimensi instrumental care and routines, kedua partisipan merasa kurang mampu untuk menjalankan tugas tersebut. Sedangkan pada kedelapan dimensi lainnya, salah satu partisipan merasa mampu untuk melakukan tugas-tugas pengasuhan tersebut, dan partisipan lainnya merasa kurang mampu. Beberapa hal dapat berperan terhadap penilaian yang dimiliki oleh kedua partisipan terhadap kemampuannya untuk mengasuh anak, antara lain pengalaman sebagai ayah tunggal, karakteristik dari anak yang diasuh, pengalaman pengasuhan sebelumnya, dan juga dukungan yang diterima dari lingkungan sekitar. Peneliti juga menemukan bahwa pemaknaan partisipan terhadap peran ayah, pengalaman di masa kecil, dan kondisi emosional partisipan berperan terhadap fathering self-efficacy yang dimiliki. |