Bank Persero, disebut juga Bank Badan Usaha Milik Negara (“Bank BUMN”), pada dasarnya adalah bank yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah, dan karenanya juga sering juga disebut bank pemerintah. Kegiatan usaha sehari-hari bank-bank pemerintah ini tidak berbeda dengan bank-bank umum swasta. Namun, hal menarik dan terutama yang membedakan karakteristik dan dalam memengaruhi kinerja Bank Persero dari bank swasta atau bank asing secara hukum adalah perihal kepemilikan dan pengaruh pemerintah/negara atas Bank Persero. Konsekuensinya, dari segi regulasi, terdapat perbedaan signifikan antara Bank Persero sebagai BUMN di bidang perbankan dibandingkan dengan bank milik swasta. Salah satu persoalan penting yang mempertajam isu hukum tersebut adalah penyelesaian kredit macet Bank Persero. Dalam bisnis/industri perbankan, timbulnya kredit macet dapat dipahami sebab core business dari sektor ini memang menyalurkan Dana Pihak Ketiga (DPK) kepada para nasabah dalam bentuk pinjaman. Risiko ini sama berlakunya bagi Bank Persero. Bank Persero membutuhkan fleksibilitas dalam menjalankan perusahaan, termasuk dalam hal pengelolaan risiko kredit macet. Namun, fleksibilitas bagi Bank Persero kerap terkendala dengan status kekayaan BUMN dalam keuangan negara, yang disebabkan oleh tumpang tindih dalam pengaturan (over-regulated), dan berimplikasi pada ketidakpastian hukum prosedur penghapusan kredit macet. Secara hukum, problem tersebut disinyalir timbul lantaran posisi BUMN Persero menjadi tidak jelas karena masuk dalam tataran hukum publik. Hal ini menyebabkan para kekhawatiran para direksi bank-bank BUMN ketika harus mengambil langkah penghapusan kredit macet melalui mekanisme RUPS perseroan (rezim korporasi), sebab di sisi lain terdapat paradigma para penegak hukum bahwa sebagai bagian dari keuangan negara, maka sudah semestinya penghapusan kredit bank-bank BUMN juga mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku dalam penghapusan kekayaan negara (rezim keuangan negara). |