Demi mewujudkan Habeus Corpus, yaitu sebagai tempat untuk mengadukan pelanggaran HAM, Praperadilan hadir sebagai suatu proses sebelum adanya terlaksananya proses pengadilan, yang dapat digunakan oleh para pihak yang merasa atau mendapat kerugian baik secara materiil maupun imateriil dari proses hukum yang dijalankan oleh penyelidik ataupun penyidik. Menurut KUHAP Pasal 77, Praperadilan ada untuk memeriksa mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti kerugian, rehablitasi, dan yang terakhir dan terbaru menurut Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa status tersangka seseorang, masuk ke dalam objek Praperadilan.Pada tahun 2015. Masalah Penelitian yang timbul adalah dengan adanya putusan MK tersebut yang menjadi kewenangan Praperadilan, dan adanya UU KPK Pasal 40 yang menyatakan KPK tidak dapat mengeluarkan SP3 dan mengambil contoh dari 2 Putusan Praperadilan, Apa yang menjadi pertimbangan bagi KPK dalam menetapkan kembali status tersangka Ilham Arief Sirajuddin setelah adanya pencabutan berdasarkan Putusan Praperadilan Nomor 31/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, dan Apa yang menjadi pertimbangan bagi KPK dengan tidak menetapkan kembali status tersangka Komjen Pol Budi Gunawan setelah adanya pencabutan berdasarkan Putusan Praperadilan 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dan dapat di dalam penelitian ini pun masalah penelitian dapat terjawab bahwa dalam kasus Ilham Arief Sirajuddin KPK mendasarkan pada UU KPK Pasal 40 yang memiliki arti bahwa KPK tidak dapat menghentikan suatu perkara, oleh sebab itu KPK tetap melanjutkan kasus tersebut, jika dalam kasus Budi Gunawan, KPK tidak memiliki legal standing untuk membiarkan kasus Budi Gunawan hingga sekarang, dengan hal tersebut KPK melanggar Asas Legalitas yaitu lex scripta yang ada didalamnya. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menulusuri perarturan, data dan bahan hukum terkait penulisan ini. Kesimpulan dari penulisan hukum ini adalah Putusan MK tersebut mengenai masuknya status ketersangkaan seseorang sebagai objek dari Praperadilan, menjadi inovasi baru dalam proses Praperadilan namun belum ada aturan yang berbentuk KUHAP atau Undang-Undang terkait yang mengakoomodir Putusan MK ini dan KPK tidak berwenang menghentikan perkara, termasuk perkara dimana KPK kalah dalam Praperadilan. Adapun saran dari penelitian ini adalah merevisi KUHAP dan UU terkait dengan tindak pidana korupsi dengan mengakoomodir putusan MK terkait perluasan objek praperadilan, dan pengawasan dari masyarakat maupun pengawas internal atau eksternal KPK. |