Latar belakang yang mendasari penelitian ini adalah minimnya keberhasilan dari penerapan Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Court-Connected Mediation”) yang diterapkan oleh Mahkamah Agung melalui PERMA No. 1 Tahun 2016 yang sebagaimana telah mengalami perubahan sebanyak dua kali sejak pertama kali ditetapkan pada Tahun 2003. Sebagaimana data yang didapati bahwa pada Tahun 2017 di Pengadilan Tingkat Pertama di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama kesepakatan mediasi hanya sebanyak 925 perkara dan 1721 perkara dari ribuan perkara lainnya. Melihat bahwa Hong Kong memiliki perkembangan ilmu Alternative Dispute Resolution bertaraf internasional dan utamanya memiliki tingkat keberhasilan penyelesaian perkara dengan mediasi yang baik dalam Court-Connected Mediation maka untuk itu Penulis mengambil Hong Kong sebagai perbandingan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis untuk menjawab pertanyaan serta kesimpulan. Melalui perbandingan hukum, mekanisme penyelesaian sengketa dengan mediasi di Pengadilan, baik di Indonesia dan di Hong Kong memiliki beberapa persamaan dan juga perbedaan, yang bilamana ditelusuri implikasinya adalah terhadap keberhasilan penyelesaian sengketa yang terjadi antara Para Pihak. Terkait prosedur mediasi nya ditemukan bahwa terdapat pengaturan yang berbeda dimulai dari tahapan kerangka hukum, pra-mediasi, tata cara proses mediasi, biaya mediasi, jangka waktu mediasi, syarat itikad baik menempuh mediasi, tugas mediator, badan akreditasi mediator dan keterlibatan kuasa hukum. Kedua-keduanya mengharuskan setiap sengketa perdata yang masuk ke pengadilan untuk diselesaikan melalui mediasi terlebih dahulu. Namun hal mendasar yang perlu digaris bawahi adalah prinsip umum mediasi yang diterapkan di Indonesia menggunakan pendekatan Mandatory” yakni bersifat wajib sedangkan di Hong Kong menggunakan pendekatan “Voluntary” yakni bersifat sukarela. |