Latar Belakang : Usia pra-sekolah menyumbang 10 – 20% angka kematian akibat infeksi cacing. Jenis STHs memiliki prevalensi yang tinggi sebagai faktor penghambat tumbuh-kembang anak golden-age. Tahun 2013, Infeksi STHs di Muara Siberut mencapai 53,1%. Kejadian ini dapat mempengaruhi proses tumbuh-kembang anak. Maka dari itu, penelitian ini ingin mengetahui hubungan infeksi cacing golongan STHs dengan gangguan tumbuh-kembang anak usia 2 – 5 tahun di Desa Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.
Metode : Penelitian ini merupakan analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Responden diambil dari 6 TK dengan simple random sampling. Tumbuh-kembang dinilai menggunakan kuesioner KPSP dan tinja responden diperiksa menggunakan metode Kato-Katz untuk mengetahui infeksi STHs.
Hasil : Total responden adalah 98 anak. Terdapat 77(78,6%) anak mengalami infeksi STHs dengan Ancylostoma duodenale(65,3%). Status tumbuh-kembang terbanyak adalah meragukan(38,8%). Analisis bivariat menemukan tidak ada hubungan antara usia dengan status gizi(p=0,097), status tumbuh-kembang(p=0,704), status kecacingan(p=0,77), dan jenis cacing(p=0,515), antara pendidikan orangtua dengan gangguan tumbuh-kembang anak(p=0,411) dan status kecacingannya(p=0,409), serta tidak terdapat hubungan antara infeksi STHs dengan gangguan tumbuh-kembang anak usia 2 – 5 tahun(p=0,882).
Kesimpulan : Status tumbuh-kembang terbanyak adalah meragukan dan status kecacingan terbanyak adalah positif akibat Ancylostoma duodenale. Tidak terdapat hubungan antara infeksi STHs dengan gangguan tumbuh-kembang anak usia 2 – 5 tahun. Namun, angka infeksi cacing dan gangguan tumbuh-kembang ini sangat membutuhkan intervensi segera. |