Minangkabau merupakan suatu lingkungan adat yang terdapat di Sumatera Barat, dan memiliki sistem kekerabatan dari garis keturunan Ibu (Matrilineal), sehingga setiap aspek kehidupan masyarakatnya mengacu pada sistem tersebut, salah satunya dalam masalah pewarisan. Dalam hukum waris adat Minangkabau, laki-laki tidak mendapatkan bagian dari harta warian keluarga. Hal inilah yang mendorong timbulnya sengketa waris, antara lain laki-laki yang menjual harta pusaka tinggi. Dalam penulisan hukum ini akan dibahas mengenai mengapa laki-laki di Minangkabau tidak mendapatkan hak atas harta warisan keluarga dan bagaimana status hukum bagi laki-laki Minangkabau yang menjual harta warisan keluarga. Dalam penulisan ini metode yang digunakan ialah yuridis sosiologis dengan melihat respon orang Minangkabau yang diwawancarai penulis terkait permasalahan laki-laki Minangkabau yang menjual harta pusaka tinggi ditinjau dari hukum waris adat Minangkabau. Walaupun terdapat 3 sistem pewarisan di Indonesia, masyarakat adat Minangkabau tetap mempertahankan hukum waris adatnya, hal ini yang menyebabkan laki-laki Minangkabau tidak mendapatkan harta warisan keluarga, dan menimbulkan permasalahan waris seperti kasus yang dibahas oleh penulis. Status hukum bagi laki-laki Minangkabau yang menjual harta pusaka tinggi akan dikucilkan dari adat Minangkabau karena laki-laki tersebut tidak memiliki itikad baik, dan perjanjian yang dilakukan dalam hal menjual harta warisan keluarga dianggap batal dan kembali kepada para pihak yang memiliki hak atas harta warisan tersebut. Untuk mengatasi pemasalahan pewarisan tersebut seharusnya masyarakat adat Minangkabau memiliki aturan adat yang jelas agar dapat menyelesaikan permasalahan itu, dan bagi laki-laki Minangkabau sebaiknya terlebih dahulu merundingkan pembagian waris secara adat terlebih dahulu, namun bila dirasa kurang adil maka masyarakat Minangkabau dapat menggunakan hukum waris barat agar menghindari terjadinya permasalahan pewarisan tersebut. |