Pada akhir-akhir ini, hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul permasalahan aliran-aliran yang bertentangan dengan ajaran hukum agama dan perkataan yang menyela kitab suci umat agama tertentu (penodaan agama). Istilah penodaan agama sesungguhnya sangat abstrak sehingga bisa digunakan oleh kelompok tertentu, terutama kelompok mayoritas yang menuduh kelompok lain telah menodai agama dengan keyakinan dan praktik agamanya. Diantara ajaran-ajaran atau perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama seperti kasus Tajul Muluk dan Basuki Tjahaja Purnama. Kasus penodaan agama di atas memiliki perbedaan cara pandang hakim dalam memutus kasus penodaan agama. Penulis ingin membahas bagaimana unsur kesengajaan dalam tindak pidana penodaan agama dapat dibuktikan dalam Putusan Pengadilan No. 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR dan Putusan Pengadilan No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg. Penelitian ini memakai metode studi kepustakaan dengan analisis yuridis normatif, yaitu menggunakan sumber-sumber data sekunder. Untuk membuktikan adanya unsur kesengajaan terhadap Putusan Pengadilan No. 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR dan Putusan Pengadilan No. 69/Pid.B/2012/PN.Spg hakim menggunakan teori gabungan yaitu adanya kehendak dan pengetahuan. Untuk pembuktian teori kehendak, tergantung sepenuhnya pada interpretasi atau subjektifitas hakim dalam menilai fakta yang terbukti di persidangan (memang ditujukan atau dimaksudkan untuk menodai agama atau tidak). Terhadap teori pengetahuan tergantung pada reaksi masyarakat. Teori pengetahuan ini mudah sekali untuk diarahkan atau dipolitisasi sesuai keinginan kelompok mayoritas. Karena yang menjadi tolak ukur adalah pelaku mengetahui bahwa perbuatan tersebut apabila dilakukan akan mengganggu ketertiban umum dan mengganggu kedamaian umat beragama. |