Tindak pidana narkotika merupakan kasus tindak pidana terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus yang bertujuan untuk mempersempit perkembangannya di Indonesia, khususnya dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana narkotika. Dalam praktiknya, Undang-Undang Narkotika masih memiliki kelemahan atau ketidakefektifitasan dalam penjatuhan pidana denda. Hal itu penulis rasakan ketika melihat beberapa fenomena yang dilihat secara aktual dalam Data Laporan Tahunan Perkara Narkotiks, bahwa hanya ada sebagian kecil dari pelaku tindak pidana narkotika yang membayar hukuman pidana denda kasus Narkotika. Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengambilan data lebih lanjut dalam Laporan Tahunan Perkara Narkotika dari beberapa pengadilan negeri, Mahkamah Agung dan mewawancara mantan narapidana narkotika. Kemudian, data tersebut dianalisis berdasarkan studi literatur yang telah dikaji dan ditemukan beberapa hal yang menjadi penyebab tidak dibayarnya pidana denda. Beberapa hal di antaranya adalah nominal besaran denda yang terlalu besar, tidak konsistennya standar pidana denda, dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum. Mereka cenderung memilih subsidair dari pidana pengganti denda yang dianggap lebih ringan dan mudah untuk dijalani. Namun, hal tersebut dirasa kurang memiliki dampak yang positif bagi para narapidana yang sebelumnya menjadi pengguna narkotika. Berdasarkan hasil wawancara, mereka ternyata lebih membutuhkan proses rehabilitasi daripada pidana kurungan yang terlalu lama dan tidak membuat diri mereka lebih baik. Karena berdasarkan data yang telah dianalisis, sebagian besar pelaku lebih memilih pidana pengganti denda (subsidair), serta subsidair yang ternyata tidak menjaminkan diri mereka menjadi pribadi yang lebih baik, maka diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan penjatuhan pidana denda dan pidana pengganti denda (subsidair) bagi pengguna narkotika belum efektif. |