Putusan bersalah yang dijatuhkan kepada DR. H. Syahriani, M.Si mengandung beberapa masalah. Penulis merasa bahwa penerapan unsur-unsur pasal yang digunakan adalah tidak tepat dan mengandung kekhilafan Majelis Hakim dalam memutus sehingga Penulis tertarik untuk membahas mengenai penerapan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Dalam perkara yang akan menjadi pokok bahasan penulisan hukum ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banjarbaru, yang dikuatkan dengan putusan Majelis Hakim Agung memutuskan bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dalam proyek pengadaan tanah untuk perluasan Bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Namun pada kenyataannya dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa perbuatan DR. H. Syahriani, M.Si bersama-sama dengan pihak lainnya telah merugikan Negara sebanyak Rp 53.800.015.816,- atau setidak-tidaknya sejumlah itu. Perhitungan tersebut didapat dari penghitungan Jaksa Penuntut Umum dan bukan ahli. Nyatanya, Panitia Pembebasan Tanah (P2T) justru menghemat anggaran sebesar Rp. 23.851.680.000,-. Selain itu DR. H. Syahriani, M.Si dipersalahkan akibat perbuatannya mendelegasikan wewenang pemilihan Lembaga Penaksir Harga kepada PT. Angkasa Pura I, yang mana hal tersebut sesungguhnya telah sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2007. Seluruh keputusan dan surat yang dikeluarkan oleh Panitia Pembebasan Tanah juga mendapat persetujuan Walikota, dan juga hal-hal tersebut dikeluarkan demi kelancaran perluasan bandara yang merupakan kepentingan umum serta sesuai dengan seluruh peraturan terkait. Sehingga harusnya DR. H. Syahriani, M.Si dibebaskan dari segala tuntutan. |