Pada Agustus 2016 lalu, WNI asal Medan bernama Sri Dewi Sulistiana (Dewi) berkunjung ke Malaysia. Setibanya di KLIA2, Dewi dipanggil ke bagian imigrasi dan mendapati bahwa paspornya ditolak. Sebelum dideportasi, Dewi disuruh masuk ke dalam ruangan seperti sel di imigrasi Malaysia dan merasa mendapat perlakuan tidak layak dari petugas setempat. Barang-barang disita dan kesempatan untuk melakukan komunikasi keluar tidak diberikan. Sampai kembali ke Medan, tidak ada keterangan apapun dari pihak imigrasi Malaysia atas alasan penolakan Dewi. Adapun rumusan masalah yang diteliti yaitu bagaimana perlindungan negara untuk kasus Dewi, dan apakah tindakan Imigrasi Malaysia termasuk pelanggaran hukum internasional. Penulis meninjau dengan metode yuridis normatif serta melakukan wawancara guna mengklarifikasi data yuridis yang didapat. Menelaah berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan perlindungan warga negara di negara lain (terutama melalui jalur diplomatik), peraturan Indonesia dan Malaysia, dan wawancara dengan narasumber diantaranya Dewi, Kedubes Malaysia, dan Kemenlu RI. Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak imigrasi Malaysia, telah melanggar Pasal 36 Konvensi Wina 1963 tentang hak untuk berkomunikasi dengan perwakilan negara. Lalu negara melalui Kemenlu melakukan upaya mengirimkan nota diplomatik untuk Malaysia yang hasilnya adalah klarifikasi bahwa status Dewi aman dari daftar cekal atau blacklist. Oleh karena itu, saran dari penulis agar Malaysia perlu lebih memperjelas peraturannya terkait pelaksanaan teknis imigrasi (Akta Imigressen) agar tidak terjadi kasus serupa dan mencegah terjadi pelanggaran terhadap Konvensi Wina 1963. Kemenlu sebagai lembaga perwakilan negara juga sudah melakukan upayanya secara proporsional dan telah sesuai dengan prosedur yang benar. |