Di dalam era global ini, dengan semakin berkembangnya jalur informasi dan transportasi mengakibatkan hubungan antar bangsa semakin berkembang. Orang asing, datang dan pergi ke suatu negara tertentu merupakan suatu hal yang lumrah, baik untuk bekerja, sekolah berdagang atau hanya sekedar sebagai turis. Dalam hal ini juga menimbulkan masalah bagi kehidupan antara sesama anggota masyarakat yaitu terbukanya jenjang hubungan menjuju rumah tangga yang terjadi antar pria dan wanita yang berbeda kewarganegaraan yang dikenal dengan perkawinan campuran. Putusnya perkawinan campuran yang banyak terjadi di Indonesia menimbulkan permasalahan terutama permasalahan mengenai status kewarganegaraan anak. Penulis menggunakan metode yuridis normatif dalam mengkaji hal ini. Undang – Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan menganut asas ius sanguinis, jadi anak – anak yang dilahirkan akan mengikuti kewargarganegaraan ayahnya. Situasi ini akan sulit jika ayahnya berkewarganegaraan asing dan terjadi perceraian diantara orangtuanya, karena kewarganegaraan Indonesia setelah anak berumur 18 tahun atau sudah kawin. Jadi, jika anak tersebut mengikuti kewarganegaraan asing seperti ayahnya, maka jika terjadi perceraian, anak dapat dideportasi karena berkewarganegaraan asing. Jadi meskipun hak asuh jatuh ke tangan ibu, anak tetap berstatus asing dan rentan dideportasi. Tapi hal ini dapat dihindari dengan diberlakukannya Undang – Undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada tanggal 1 Agustus 2006. Dalam Undang – Undang ini, anak tersebut akan mempunyai kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu kewarganegaraan dari ayah dan ibu. Menurut penulis dengan diberlakukannya Undang – Undang Kewarganegaraan yang baru ini, mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Masalah lain yang akan timbul adalah mengenai hak asuh akibat perceraian tersebut. |