Fredi Budiman merupakan salah satu contoh terpidana mati kasus tindak pidana narkotika. Kasus yang membawanya pada putusan pidana mati adalah dengan mendatangkan 1,4 juta butir pil ekstasi dari China ke Indonesia dengan kamuflase impor akuarium (fish tank). Atas perbuatannya tersebut Fredi Budiman terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 114 Ayat (2) jo. Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan putusan pidana mati dan denda sebesar Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah). Adanya tenggang waktu yang cukup lama dari putusan yang diterima Fredi Budiman hingga pengeksekusian dikarenakan adanya jaminan hak bagi terpidana mati, salah satunya adalah memberikan hak bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum. Dalam hal ini Fredi Budiman sudah mengajukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali, namun hasilnya ditolak. Upaya hukum lain yang dilakukan oleh Fredi Budiman adalah pengajuan grasi meskipun upaya tersebut belum diterima oleh Presiden sehingga belum ada keputusan diterima atau tidaknya permohonan tersebut hingga saat ia dieksekusi. Adapun menjelang eksekusi, Fredi Budiman juga diberikan haknya yaitu diberitahu tiga kali dua puluh empat jam sebelum di eksekusi dan diberi kesempatan untuk mengajukan permintaan terakhir. Adapun dasar hukum hak-hak tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dan Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Dalam penulisan hukum ini digunakan metode penulisan hukum kombinasi antara yuridis normative dan yuridis empiris. |