Saksi merupakan orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang telah ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 Angka 26 KUHAP). Sementara itu, keterangan saksi adalah, salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 Angka 27 KUHAP). Dari kedua pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang saksi adalah orang yang secara langsung melihat, mendengar, dan mengalami suatu peristiwa pidana, dimana, berdasarkan pengalamannya tersebut, keterangan yang mereka berikan dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk membuat terang suatu perkara pidana. Namun, dalam perkembangannya saat ini, saksi tidak hanya dikualifikasikan sebagai seseorang yang harus mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, namun, saksi dikualifikasikan sebagai orang yang tidak selalu melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Hal ini termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010. Dimana pada amar putusannya dikatakan, bahwa Pasal 1 angka 26 dan angka 27 seperti yang tercantum diatas, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD ’45 sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai sebagai orang yang tidak selalu melihat, tidak selalu mendengar, dan tidak selalu mengalami suatu peristiwa pidana, selama ia dapat memberikan keterangan atas suatu peristiwa pidana. Hal lain yang menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi perkembangan makna saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah, munculnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang ini juga mengakui keberadaan saksi de auditu dengan mengatakan bahwa, hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang tersebut dapat diberikan pula kepada orang yang tidak selalu melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana sepanjang dapat memberikan keterangan yang berkaitan dengan peristiwa pidana. Selain Undang-Undang itu, juga muncul beberapa Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yaitu, Putusan Nomor 775 K/Pid/2014 dan Putusan Nomor 65 K/Pid.Sus/2014, yang juga mengakui dan menjadikan saksi de auditu sebagai alat bukti yang sah. Dasar dari penggunaan saksi de auditu dalam kedua putusan tersebut adalah, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa, saat ini telah terjadi perkembangan makna saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia. |