Penghentian pengobatan yang dilakukan terhadap pasien terminal atau mati batang otak termasuk dalam euthanasia pasif. Tidak hanya itu, ada juga alasan indikasi ekonomi karena biaya pengobatan yang terlalu mahal. Apabila terjadinya euthanasia pasif, belum ada kepastian hukum yang mengatur. Jika euthanasia pasif terjadi, dengan adanya asas legalitas, dokter tidak dapat dipidana. Pasal 48 (overmacht), 49 (noodweer), dan Pasal 51 (Perintah Jabatan) KUHP, dokter terpaksa melakukan euthanasia pasif atas permintaan pasien dan juga adanya perintah atasan dari Rumah Sakit sesuai SOP (jika euthanasia pasif terjadi atas indikasi ekonomi). Hal ini juga didukung oleh Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Medis No : YM 02.04.3.5.2504 tahun 1997 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, dan Pasal 51 UU Praktik Kedokteran yang mengatur jika melakukan tindakan kedokteran, pasien telah menandatangani Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Dengan tidak adanya mens rea atau niat dari dokter untuk membuat pasien berada dalam keadaan tersiksa dan sengsara. Sehingga euthanasia pasif dapat dikatakan tindakan yang tidak melawan hukum. Prosedur legal yang harus ditempuh apabila keluarga pasien meminta dilakukannya Euthanasia Pasif terhadap pasien adalah sebagai berikut : pasien memohon pengurangan biaya kepada Rumah Sakit, direktur Rumah Sakit mengadakan rapat untuk menyetujui atau tidak pengurangan biaya terhadap pasien. Apabila tidak disetujui, maka Rumah Sakit harus merujuk pasien ke Rumah Sakit Pemerintah. Rumah Sakit Pemerintah harus menerima pasien tersebut, dikarenakan dalam Pasal 2 Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan telah mengatur untuk menjamin masyarakat fakir miskin dan orang tidak mampu. Namun, program ini belum berjalan sesuai fungsinya. |