Latar Belakang: Populasi lanjut usia (lansia) di dunia bertambah dari tahun ke tahun. Di Indonesia, terjadi peningkatan jumlah lansia dari sejak tahun 1950 dan diperkirakan mencapai 29 juta jiwa lansia pada 2020. Peningkatan populasi ini menimbulkan beban ekonomi, sosial, dan kesehatan khususnya pada lansia. Kesehatan mental dan determinannya menjadi penting untuk mendapat perhatian karena seringkali masalah mental lansia luput dari perhatian kesehatan khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, assessmentdan determinan masalah kesehatan mental perlu ditelaah demi kesehatan lansia secara menyeluruh. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang mengenai status kesehatan mental.Status kesehatan mental dinilai menggunakan SRQ-20 seperti dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan faktor individu, keluarga, sosial, kehidupan, serta sosioekonomi juga didapatkan melalui kuesionerdari karyawan berusia =45 tahun di UNIKA Atma Jaya, Jakarta. Dari 160 karyawan berusia =45 tahun di dalam fakultas kedokteran, psikologi, teknobiologi, hukum, keguruan dan ilmu pendidikan, dan personalia di UNIKA Atma Jaya, 96 responden mengikuti wawancara dan mengisi kuesioner. Pembahasan secara kuantitatif (uji analitik chi-square) dan kualitatif dilakukan untuk mengetahui masalah kesehatan mental dalam penelitian ini. Hasil: Mayoritas dari responden penelitian adalah pengajar laki-laki berusia pralansia dengan tingkat ekonomi menengah. Terdapat 7,3% responden yang mengalami masalah kesehatan mental. Riwayat cedera (p=0,033) dan penyakit yang dimiliki responden (p=0,056) memengaruhi secara bermakna status kesehatan mental. Kesimpulan:Prevalensi masalah kesehatan mental pada penelitian ditemukanjauh lebih rendah tinggi dibandingkan data lansia tahun 2007 (7,3% vs. 20,86%), yang mungkin dilatarbelakangi oleh perbedaan usia, tingkat sosioekonomi, pekerjaan, dan pendidikan. Merujuk Riskesdas 2013, prevalensi tersebut ditemukan sedikit lebih tinggi (7,3% vs. 6%)Pembahasan kualitatif tidak menunjukkan kaitan riwayat penyakit dengan tingkat sosioekonomi namun memperlihatkan kaitan riwayat cedera (kecelakan dan kekerasan) dengan tingkat sosioekonomi. Kedua faktor tersebut juga memengaruhi persepsi kesehatan dan kesehatan mental responden. Living arrangement tidak menunjukkan resiko terhadap kesehatan mental. |