Penulis memilih bentuk penulisan studi kasus, dengan latar belakang bahwa penulis ingin mengetahui dan mendalami mengenai hukum pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia. Dalam penulisan hukum ini, penulis mengangkat sebuah topik yang fundamental dalam perkembangan hukum acara pidana, yaitu dikenalnya prinsip minimum alat bukti. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa dalam membuktikan kesalahan terdakwa, dibutuhkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Masalah dalam studi kasus ini adalah prinsip minimum alat bukti yang tidak dipenuhi. Idup Supriyadi alis Pungki didakwa telah melakukan persetubuhan terhadap anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdakwa diputus bersalah pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan hukuman 7 (tujuh) tahun pidana penjara, dengan diperiksanya saksi-saksi. Saksi-saksi yang diperiksa bukan merupakan alat bukti yang sah, karena korbannya tidak disumpah karena masih di bawah umur, sedangkan saksi yang di sumpah adalah saksi de auditu atau testimonium de auditu. Alat bukti lain adalah hasil visum, keterangan ahli dan petunjuk. Bahwa dalam menentukan kesalahan Terdakwa dibutuhkan adanya persesuaian masing-masing alat bukti. Secara kuantitatif, alat-alat bukti tersebut memenuhi untuk diperiksa, namun secara kualitatif tidak memenuhi untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan pertimbangan yang sama, seperti copy-paste, tidak dicantumkan pertimbangan hukum yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa yang didampingi penasihat hukum. Diajukanlah kasasi, Mahkamah Agung juga tidak menerima kasasi secara substansi karena dianggap telah benar dalam memberikan putusan. |