Mahkamah Konstitusi pada Jumat 17 Febuari 2012 telah mengeluarkan putusan revolusioner, bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan tak hanya memiliki hubungan secara perdata dengan ibunya, tetapi juga dengan lelaki yang telah terbukti sebagai ayah biologisnya. putusan tersebut adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan mengubah isi pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Kedudukan anak luar kawin sebelum adanya putusan tersebut menurut BW adalah anak zina tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya, terdapat pada pasal 272 jo 283 BW dan menurut Hukum Islam UUP pasal 43 ayat (1) jo pasal 100 KHI. Baik BW dan KHI tidak diatur mengenai hubungan dengan ayah biologisnya. Agar anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan ayahnya maka seorang ayah harus melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin berdasarkan pasal 280 BW, pengakuan tersebut dapat dilanjutkan dengan pengesahan bila kedua orangtuanya melakukan perkawinan yang sah dan pengesahan diatur dalam pasal 50 UU Adminduk. Setelah adanya putusan tersebut tidak adanya definisi tentang apa yang diartikan dengan anak luar kawin sehingga memberi kesan bahwa anak zina memiliki hubungan kekeluargaan (nasab) dengan ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya, sehingga anak zina dimungkinkan untuk mendapatkan waris dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya namun tidak adanya Peraturan Pemerintah / PERMA yang mengatur putusan tersebut sehingga mengenai waris bagi anak luar kawin tetap sesuai yang diatur di dalam BW. Menurut wawancara peneliti dengan MUI dan Dinas Catatan Sipil putusan tersebut tidak mengubah ketentuan dari Al-quran dan Hadist mengenai anak hasil zina terutama dalam hal mewaris mendapatkan bagian sebesar 1/3 dengan wasiat wajibah dan tetap melakukan pengakuan dan pengesahan karena perkawinan menyusul dari kedua orangtuanya agar anak tersebut dapat mewaris dari ayah biologisnya. |