Selama ini penegak hukum seringkali menemukan kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan korban. Banyak saksi dan korban yang ketakutan karena mendapat ancaman serta intimidasi. Untuk itu, perlu adanya perlindungan bagi saksi dan korban agar mereka dapat memberikan keterangan dengan rasa aman. Oleh karena itu, negara kita mendirikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diatur dalam Undang Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu, UU No. 13 tahun 2006 dan di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2008. Di dalam tulisan skripsi ini, penulis ingin membahas perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terhadap korban ditinjau dari segi saksi. Berbicara mengenai saksi, perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan ini pun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang diintrodusir KUHAP, dimana saksinya haruslah orang yang keterangan perkara pidana yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri dan ia alami sendiri. Sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, bila korban menginginkan perlindungan maka yang bersangkutan mengajukan permohonan tertulis kepada LPSK. Perlindungan yang diberikan LPSK dilakukan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan sesuai ketentuan Pasal 5, 6, 7 dan 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi. Dalam melaksanakan perlindungan tersebut LPSK dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban memang tidak dijelaskan secara memadai. |