Perang berarti adanya pembunuhan besar-besaran dan sering terjadi kekejaman-kekejaman, sudah banyak perang yang telah terjadi di muka bumi ini salah satu diantaranya adalah Perang Darfur di Sudan, Afrika. Konflik yang telah berlangsung lama ini menimbulkan pertentangan antara pemerintah dan kaum pemberontak. Akibat perang yang berlangsung lama maka jatuh banyak korban jiwa dari para pihak yang berselisih. Pada tahun 2009, Presiden Sudan yang saat itu berkuasa, Omar Hasan Al-Bashir, dituduh telah telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang di Sudan. Presiden Sudan tersebut dianggap telah melanggar prinsip-prinsip dalam Hukum Humaniter, oleh karena itu Presiden Sudan tersebut dihadiahi dengan 2 (dua) buah surat penangkapan dari Mahkamah International (ICC) pada 4 Maret 2009 dan 12 Juli 2010. Masalah yang timbul adalah pada waktu itu Presiden sudan menolak untuk diadili oleh ICC dengan alasan bahwa Sudan bukan merupakan anggota ICC sehingga dengan demikian yurisdiksi ICC tidak berlaku di Sudan. Penulis mencoba membahas tentang bagaimana pengaturan mengenai pertanggungjawaban individu terkait dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh Omar hasan Al-Bashir sebagai Presiden Sudan dari sudut pandang Hukum Humaniter internasional dan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban secara individu atas kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan melihat contoh dari Mahkamah kejahatan perang yang telah ada sebelum ICC berdiri dan dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi-konvensi yang terkait dengan Hukum Humaniter, maka Presiden Sudan dapat dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Mahkamah tanpa memandang Sudan bukanlah anggota ICC dan tanpa memandang jabatannya sebagai seorang Presiden yang berkuasa. Berdasarkan salah satu prinsip dalam hukum internasional, yaitu yurisdiksi universal, yang berprinsip siapapun dia dan apapun kewarganegaraannya, jika ia dianggap telah melanggar hukum dan membahayakan maka dapat diadili. |