Seiring perkembangan jaman, banyak orang melakukan penyalahgunaan obat atau psikotropika. Karena Undang-undang tentang Narkotika yang lama dianggap belum cukup melindungi, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana psikotropika golongan satu dan dua digabung menjadi narkotika golongan satu. Faktor hokum yang mempengaruhi penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu masih butuh waktu sosialisasi lebih lanjut dan mendalam, mengingat luasnya wilayah, serta dana yang tersedia dalam penggalangan anti narkoba, masih sangat terbatas, hal ini juga yang menyebabkan timbulnya oknum penegak hukum yang “nakal”. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan data sekunder. Setelah melakukan penelitian terhadap data yang didapat, maka penulis berkesimpulan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika sudah cukup mampu untuk menanggulangi tindak pidana narkotika. Masalah yang mungkin timbul rendahnya pengetahuan masyarakat akan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengadukan adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Orang tua yang anaknya mengalami ketergantungan narkotika tidak mengadukan karena takut anaknya akan dipidanakan, padahal jika penyalahguna itu terbukti hanya sebagai pengguna, ia akan direhabilitasikan. Selain itu sudah menjadi mindset masyarakat kalau mengobati orang yang mengalami ketergantungan narkotika mahal, padahal sebenarnya jika terdapat kesadaran untuk melapor atau melaporkan diri, maka terhadap pengguna akan diberikan rehabilitasi secara gratis dengan sistem ‘jemput bola’. Rehabilitasi pengimplementasian Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika terutama diatur pada Pasal 54, 55, 103, dan 127. Hendaknya di bentuk suatu lembaga independent untuk mengawasi kerja BNN dan segala pihak terkait mengingat betapa mengiurkannya keuntungan yang bisa didapat dari bisnis narkotika. Selain itu hendaknya dibuat suatu peraturan yang lebih tegas mengatur pembedaan antara pemakai dan pengedar serta pembuat, agar tujuan dari dibuatnya Undang-undang yaitu lebih humanis dapat terlaksana secara optimal. |