merupakan tindak pidana sejak dibentuknya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU). Sejak dibentuknya Undang-Undang tersebut hingga diubah secara parsial dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, hanya sedikit kasus pencucian uang yang sampai di sidang pengadilan, karena proses pembuktiannya cukup sulit. Pada pemeriksaan di sidang pengadilan, khususnya dalam proses pembuktian perkara pidana diperlukan adanya alat bukti yang sah. Alat bukti tersebut telah ditentukan secara limitatif oleh Undang-Undang. Hal tersebut dicantumkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Diantara alat bukti yang dapat menambah keyakinan hakim dalam memutuskan perkara pidana adalah petunjuk, yang merupakan alat bukti tidak langsung. Dalam Pasal 38 UU TPPU diatur secara khusus mengenai alat bukti. Selain alat bukti dalam KUHAP, juga dipergunakan alat bukti lain berupa informasi dan dokumen. Penelitian ini difokuskan kepada dua permasalahan yaitu dalam proses memperoleh alat bukti petunjuk dalam perkara tindak pidana pencucian uang serta sejauh mana kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana pencucian uang. Sebagai bahan analisis kasus, dipergunakan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nomor 254/PID.B/2005/PN.Jkt.Sel., atas nama terdakwa Lukman Hakim, dimana majelis hakim memperoleh petunjuk dari keterangan satu orang saksi yang bersesuaian dengan barang bukti. |