Pengungsi menurut Konvensi 1951 mengenai Pengungsi yaitu orang mereka yang berada diluar negaranya dan terpaksa meninggalkan Negara mereka karena adanya peristiwa yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1951 dan adanya rasa takut akan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena pendapat politik yang mereka anut. Dalam konvensi 1951 mengenai Pengungsi, seorang pengungsi mempunyai hak dasar yaitu non-refoulement artinya dimana seorang pengungsi tidak boleh dipulangkan secara paksa ke negara asal mereka atau di tempatkan di perbatasan-perbatasan negara yang dapat mengancam keselamatan jiwa para pengungsi. Selain hak mendasar yang dimiliki seorang pengungsim, menurut Pasal 2 Konvensi 1951 mengenai Pengungsi, seorang pengungsi mempunyai kewajiban untuk menaati segala peraturan di negara, dimana mereka berada. Pengungsi Sri Lanka yang berada di Indonesia bersifat hanya sementara sebelum mereka sampai ke negara tujuan yaitu Australia. Penanganan pengungsi Sri Lanka yang dilakukan pemerintah Indonesia diatur dengan Undang-Undang no. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, mengingat Indonesia tidak mempunyai hukum nasional yang mengatur mengenai pengungsi dan belum meratifikasi Konvensi 1951 mengenai Pengungsi. Di dalam Undang-undang keimigrasian tersebut, pengaturan terhadap pengungsi disamakan seperti keberadaaan orang asing, karena pengungsi juga merupakan orang asing yang berada di wilayah Indonesia. Dalam penanganan pengungsi Sri Lanka, pemerintah Indonesia dibantu oleh UNHCR (United Nations High Commissioner fo refugees) dalam penentuan status terhadap para pengungsi dan IOM (International Organization for Migration) untuk menanggulangi segala akomodasi yang dibutuhkan oleh pengungsi. |