Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 merupakan salah satu pembaharuan dalam Hukum Ketenagakerjaan dalam bidang hubungan industrial. Sengketa antara pengusaha dan pekerja berdasarkan Undang-Undang tersebut diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial maupun lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan yaitu perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Mekanisme kerja konsiliasi dan mediasi adalah sama dalam pengertian 2 lembaga ini yaitu berfungsi sebagai penengah yang berselisih. Namun, Pembuat Undang-Undang membedakan kewenangan mediasi dan konsiliasi. Mediator berwenang untuk menangani perselisihan hak, pemutusan hubungan kerja, kepentingan, antar serikat pekerja/serikat buruh, sedangkan konsiliator hanya diberikan kewenangan menangani 3 perselisihan yaitu perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja, antar serikat pekerja/serikat buruh. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab mengapa penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi tidak diminati oleh pencari keadilan. Penelitian penulis menunjukan bahwa di seluruh wilayah DKI Jakarta sejak terbentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 hanya ada 1 kasus yang ditangani melalui konsiliasi. Sedangkan, kasus perselisihan yang ditangani mediator sebanyak 267 kasus. Fenomena ini menunjukan bahwa pembuat Undang-Undang terkesan setengah hati dalam maksudnya melibatkan masyarakat untuk membantu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Persyaratan yang ditetapkan untuk menjadi konsiliator yang begitu ringan menjadikan masyarakat kurang percaya kepada konsiliator untuk menyelesaikan perselisihan hak. Penulis berpendapat bahwa konsiliasi perlu dipertahankan. Agar konsiliator mendapat kepercayaan dari masyarakat, syarat untuk menjadi konsiliator sebagai praktisi Ketenagakerjaan 5 tahun ditingkatkan menjadi 15 tahun untuk memastikan konsiliator mempunyai kemampuan yang setara dengan mediator. |