Semua negara di dunia menganggap persoalan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana merupakan hal yang penting, karena anak merupakan generasi penerus bangsa dimasa depan. Oleh karena itu negara-negara di dunia berfikir untuk mencari bentuk alternatife penyelesaian yang terbaik untuk anak. Secara internasional konvensi internasional yang mengatur pelaksanakan peradilan anak dan menjadi standarperlakuan terhadap anak yang berada dalam sistem peradilan pidana, yaitu Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Konvensi Internasional Hal-Hal Sipil dan Politik (International Convention on Civil and Political Rights), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel in Human or Degrading Treatment on Punishment) dan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai administrasi peradilan anak (Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Negara Republik Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana diantaranya dengan lahirnya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan terhadap anak membutuhkan adanya kelengkapan aturan dan pemahaman serta kemampuan aparat penegak hukum dalam melaksanakan ketentuan dan perlunya dukungan dari masyarakat. Adapun yang menjadi permasalahan yaitu, pertama, apakah peraturan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memasukkan prinsip-prinsip Standar Internasional mengenai administrasi peradilan anak (The Beijing Rules) dan bagaimanakah pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia pasca berlakunya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kedua, bagaimanakah konsep diversi dan restorative justice menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan ketiga, bagaimanakah prospek pengembangan konsep diversi dan restorative Justice dalam pelaksanaan system peradilan pidana anak di Indonesia? Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data yang digunakan data primer yang diperoleh dari studi lapangan (field research) dan data sekunder dari studi pustaka (documentary research). Studi lapangan dilakukan dengan wawancara mendalam (in depth interview) kepada informan yaitu polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, petugas balai pemasyarakatan, aktivis lembaga swadaya masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan akademisi. Analisa data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia telah melakukan upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum antara lain dengan meratifikasi konvensi intemasional tentang hak anak melalui Kepres No. 36 Tahun 1999, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap anak yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, tindakan penahanan merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak anak untuk tidak dihukum mati dan hukuman seumur hidup. Beberapa kerentuan Beijing Rules yang belum masuk dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu tindakan untuk menghindarkan penahanan, tindakan diversi terhadap kasus anak, penghindaran kekerasan dalam proses penanganan anak, alternative untuk mengalihkan ke proses informal sejak awal. Pelaksanaan peradilan pidana saat ini masih belum memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, antara lain adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam menangani kasus anak, belum adanya upaya untuk mengalihkan penyelesaian secara informal yang memperhatikan kepentingan semua pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian tindak pidana. Bentuk pelaksanaan diversi dilakukan berdasarkan kebijakan aparat penegak hukum dengan mempertimbangkan prinsip the best interest of the child (kepentingan terbaik untuk anak). Tindakan diversi yang dilakukan bertujuan untuk menghindarkan ada dari proses penahanan, dan implikasi negatip dari proses peradilan pidana. Penyelesaian dengan mempergunakan konsep restorative justice yaitu dengan melibatkan semua komponen lapisan masyarakat dan aparat penegak hukum bersama-sama bermusyawarah untuk menentukan tindakan terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Penyelesaian ini bertujuan untuk memulihkan kembali kerugian yang telah ditimbulkan. Adapun bentuk pertanggungjawaban yang diberikan yaitu ganti rugi materi, kerja sosial, pendidikan dan pelatihan yang berguna bagi anak. Konsep diversi dan restorative justice dapat dilakukan di Indonesia. Adapun faktor pendukung yaitu sebagian aparat penegak hukum telah melakukan tindakan diversi dalam penanganan kasus anak pelaku tindak pidana berdasarkan kebijakan individu sedangkan didalam masyarakat sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan anak telah menerapkan nilai-nilai yang sama dengan konsep restorative justice. Selanjutnya adanya dukungan dari aparat penegak hukum, pemuka agama, pemuka adat, akademisi dan lembaga perlindungan anak. Sehubungan dengan hasil penelitian desertasi tersebut, maka adapun saran yang diberikan yaitu perlunya untuk melakukan revisi secepatnya terhadap ketentuan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan pembuatan peraturan pelaksana dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan ketentuan Internasional tentang perlindungan terhadap anak dalam proses peradilan pidana anak. Untuk melaksanakan pengembangan konsep diversi dan restorative justice perlu adanya kesamaan persepsi semua pihak yang terlibat dalam peradilan pidana anak dan adanya dukungan masyarakat untuk memberikan perhatian dan ikut terlihat dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak. |