Trafiking adalah rekrutmen, pengangkutan, pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang dengan ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk – bentuk pemaksaan lainnya dengan penculikan, muslihat atau tipu daya, dengan penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rawan atau dengan pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan sadar (consent) dari orang yang memegang control atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Che Siaw yang pada awalnya didasari sebagai praktek kebudayaan masyarakat tionghua Kalimantan Barat kini, telah berubah menjadi praktek trafiking bermoduskan perkawinan. Instrumen hukum perlindungan anak yang ada di negara Indonesia dirasa belum cukup efektif untuk mengatasi kasus trafiking anak karena efektifitas penerapan yang tidak memadai dan di tambah dengan tingkat kepedulian yang rendah dari para penyelenggara perlindungan anak membuat kasus- kasus trafiking tetap saja masih terjadi, salah satunya yang dapat kita jumpai kasus Che Siaw. Dalam kasus Che Siaw justru penyelenggara perlindungan anak itu sendiri yang berperan untuk memperlancar proses Che Siaw, hal ini membuat kondisi anakanak yang menjadi korban semakin di perburuk dan sampai saat ini belum ada langkah efektif untuk mengatasi kasus ini. Semua pihak yang terlibat dalam kasus ini sebenarnya dapat di kenakan sangksi yang tertera dalam undang – undang nasional misalnya dengan menggunakan Undang -Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang para pihak termasuk oknum pemerintah. Peran KPAI sendiri berdasarkan tugas yang dieemban oleh lembaga Negara ini belum cukup dirasakan dampaknya karena hanya dengan sosialisasi yang bahkan belum sepenuhnya menyentuh pada kasus tidak akan dapat memberi perubahan pada terjadinya kasus trafiking bermoduskan perkawinan. |