Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, semua ketentuan mengenai hukum perkawinan yang ada di dalam KUHPer dinyatakan tidak berlaku, kecuali yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Syarat sahnya suatu perkawinan adalah dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing pihak serta pencatatan perkawinan tersebut. Sebagian besar penduduk Indonesia mengetahui bahwa agama yang terdapat di Indonesia adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Sementara di dalam Undang-Undang No 1 PNPS/1965, dijelaskan bahwa ada 6(enam) agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Ketidakjelasan posisi agama Khonghucu, membuat pemeluk agama Khonghucu sempat merasakan ketidakpastian dalam kedudukan hukum, salah satunya permasalahan tentang pencatatan perkawinan. Karena dengan diakui atau tidaknya agama mereka, menciptakan akibat yang fatal dan merugikan mereka. Pada saat kasus Budi Wijaya dan Lany Guito terjadi, banyak lahir peraturan perundang-undangan yang cenderung menolak eksistensi agama Khonghucu. Yang kemudian terjadi adalah pada saat pencatatan perkawinan mereka “dihimbau” untuk mencatatkan perkawinan mereka dengan salah satu agama yang terdapat dalam Surat Kepala Kantor Wilayah DEPAG JATIM No. 4683/95. Hal ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki hak untuk memeluk dan menjalankan agama yang mereka percayai, maka pada akhirnya dengan diakuinya keberadaan agama Konghucu dan dicatatkannya perkawinan pemeluk agama Konghucu akan menciptakan sahnya status perkawinan mereka. Dengan adanya peraturan-peraturan yang mengakui eksistensi agama Konghucu maka Negara Indonesia seharusnya melindungi, menghormati dan menjamin hak dan kebebasan beragama bagi semua orang tanpa pembedaan apapun. |