Anda belum login :: 23 Nov 2024 14:54 WIB
Detail
BukuTinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan dan Pencatatannya Bagi Pemeluk Agama Khonghucu Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia
Bibliografi
Author: ERFIN, MUTIA ; Halim, A. Ridwan (Advisor)
Topik: Hukum Perdata; Perkawinan Khonghucu; Undang-Undang Perkawinan; Kebebasan Beragama
Bahasa: (ID )    
Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya     Tempat Terbit: Jakarta    Tahun Terbit: 2010    
Jenis: Theses - Undergraduate Thesis
Fulltext: Mutia Erfin's Undergraduated Theses.pdf (250.31KB; 11 download)
Ketersediaan
  • Perpustakaan Pusat (Semanggi)
    • Nomor Panggil: FH-2991
    • Non-tandon: tidak ada
    • Tandon: 1
 Lihat Detail Induk
Abstract
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
semua ketentuan mengenai hukum perkawinan yang ada di dalam KUHPer dinyatakan tidak berlaku, kecuali yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Syarat sahnya suatu perkawinan adalah dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing pihak serta
pencatatan perkawinan tersebut. Sebagian besar penduduk Indonesia mengetahui bahwa agama yang terdapat di Indonesia adalah Islam, Katolik,
Kristen, Hindu dan Budha. Sementara di dalam Undang-Undang No 1 PNPS/1965, dijelaskan bahwa ada 6(enam) agama yang dipeluk oleh
penduduk Indonesia yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Ketidakjelasan posisi agama Khonghucu, membuat pemeluk agama Khonghucu sempat merasakan ketidakpastian dalam kedudukan hukum, salah satunya permasalahan tentang pencatatan perkawinan. Karena dengan diakui atau tidaknya agama mereka, menciptakan akibat yang fatal
dan merugikan mereka. Pada saat kasus Budi Wijaya dan Lany Guito terjadi, banyak lahir peraturan perundang-undangan yang cenderung menolak eksistensi agama Khonghucu. Yang kemudian terjadi adalah pada saat pencatatan perkawinan mereka “dihimbau” untuk mencatatkan perkawinan mereka dengan salah satu agama yang terdapat dalam Surat Kepala Kantor Wilayah DEPAG JATIM No. 4683/95. Hal ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, bahwa sesungguhnya setiap manusia memiliki hak untuk memeluk dan menjalankan agama yang mereka percayai, maka pada akhirnya dengan diakuinya keberadaan agama Konghucu dan dicatatkannya perkawinan pemeluk agama Konghucu akan menciptakan sahnya status perkawinan mereka. Dengan adanya peraturan-peraturan yang mengakui eksistensi agama Konghucu maka Negara Indonesia seharusnya melindungi, menghormati dan menjamin hak dan kebebasan beragama bagi semua orang tanpa pembedaan apapun.
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Lihat Sejarah Pengadaan  Konversi Metadata   Kembali
design
 
Process time: 0.171875 second(s)