Proses globalisasi menuntut masyarakat terlibat dalam kontak global, baik langsung maupun tidak langsung. Keluar-masuk orang dari dan ke suatu negara dapat mengakibatkan terjadinya suatu perkawinan campuran. Sebelum berlakunya UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan campuran diatur dalam GHR, dimana status istri mengikuti status suami, baik dalam hukum publik atau hukum perdata. Dengan demikian, bila terjadi perkawinan antara seorang perempuan WNI dengan laki-laki WNA, kewarganegaraan istri otomatis mengikuti kewarganegaraan suami. Secara otomatis pula anak ikut kewarganegaraan ayahnya. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada masa berlakunya UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, berdasarkan Pasal 8 ayat 1, bahwa perempuan warganegara Republik Indonesia yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia itu menjadi tanpa kewarganegaraan. Tidak ada persamaan gender dalam UU No. 62 Tahun 1958, karena dalam UU ini dianut azas ius sanguinis yaitu hanya ayah yang bisa memberikan kewarganegaraan terhadap anaknya. Jika terjadi perceraian antara Ibu WNI dan Ayah WNA, walaupun hak asuh jatuh ke ibu, anak tetap berstatus asing dan rentan deportasi. Oleh karena itu UU No. 62 Tahun 1958 direvisi dengan UU No. 12 tahun 2006, karena Ibu dan Ayah mempunyai kedudukan dan andil yang sama untuk memberikan kewarganegaraan pada anaknya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 bahwa anak memiliki kewarganegaraan ganda sampai ia berumur 18 tahun. |