Saat ini, praktek outsourcing semakin banyak dipakai di dalam dunia usaha, khususnya di Indonesia. Seiring dengan itu, muncul masalah – masalah yang terjadi di dalam praktek outsourcing. Seringkali masalah – masalah itu terjadi karena perjanjian kerja yang dibuat terlalu menguntungkan pengusaha. Pada perjanjian kerja outsourcing antara Bank Indonesia dengan PT “ X “, Bank Indonesia adalah pihak pemberi kerja dan PT “ X “ adalah penyedia jasa. Meskipun pihak – pihak di dalam perjanjian kerja outsourcing ada tiga, yaitu : pemberi kerja, penyedia jasa, dan pekerja, seringkali pekerja menjadi pihak yang lemah. Padahal pada praktenya pekerja adalah ujung tombak dalam perjanjian itu karena pekerjalah yang secara langsung menjalankan pekerjaan. Penempatan pekerja pada perusahaan pemberi kerja seringkali membuat perlindungan kepada pekerja menjadi kurang. Perjanjian kerja outsourcing juga seringkali membuat hak – hak pekerja menjadi kurang. Contohnya adalah adanya sanksi administrasi yang diberikan Bank Indonesia kepada PT “ X “ apabila ada pekerja yang tidak masuk dan tidak diganti. Imbas dari hal ini adalah pekerja outsourcing PT “ X “ tidak diberikan hak cuti. Hal ini tentu menyimpang dari pasal 79 Undang – Undang nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan hak cuti kepada pekerja/buruh. Salah satu faktor yang membuat hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan dari Departemen Tenaga Kerja dan perlindungan yang diberikan Undang – Undang nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang hanya mengatur outsourcing di dalam tiga pasal, yaitu pasal 64, 65 dan 66. Isi dari pasal – pasal tersebut pun masih kurang melindungi pekerja. |