Kasus euthanasia, terutama euthanasia pasif banyak terjadi dalam masyarakat di Indonesia, namun karena belum ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai euthanasia mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku dan korban euthanasia. KUHP melarang secara tegas dilakukannya euthanasia aktif seperti yang tercantum di dalam pasal 344 KUHP, namun mengenai euthanasia pasif masih banyak menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. Setiap tindakan euthanasia pasif yang akan dilakukan oleh dokter, wajib dimintakan persetujuan kepada pasien atau keluarganya dalam bentuk informed consent. Sebelum ditandatangani, dokter wajib memberikan penjelasan yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dengan bahasa yang mudah dipahami agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Informed consent yang sah adalah yang memenuhi syarat-syarat perjanjian di dalam pasal 1320 KUHPer. Ditandatanganinya informed consent maka menunjukkan disetujuinya suatu tindakan euthanasia pasif sehingga ketika suatu saat timbul gugatan terhadap dokter, informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah untuk menentukan benar atau tidaknya tindakan dokter tersebut. Apabila dokter sudah melakukan semua prosedur sesuai undangundang dan tanpa pelanggaran di dalam informed consent yang dibuat, maka dokter sepenuhnya lepas dari gugatan perdata yang dilayangkan padanya. Hal ini dikarenakan titik terpenting antara euthanasia dan hukum perdata berada di informed consent yang merupakan perjanjian, sehingga apabila perjanjian sah maka dokter tidak dapat digugat. |