Undang-Undang no 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas yang disahkan DPR pada tanggal 20 Juli 2007, menandai babak baru pengaturan CSR di Indonesia. Keempat ayat dalam pasal 74 Undang-Undang tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang meliputi : pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta kewajiban untuk melaporkannya. Salah satu perusahaan yang berada dalam naungan UU ini adalah PT. ASP, dengan dibentuknya Community Development & Relation Division (Divisi CDR). Dalam menjalankan tugasnya, para personel CDR diterjunkan langsung ke lapangan dalam konteks kerja 10 minggu di lapangan, dua minggu di Jakarta dan berperan sebagai jembatan antara perusahaan dan masyarakat dalam menjalankan program CSR. Dalam menjalankan pekerjaannya, personel CDR bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat lokal dan di sinilah titik dimana terjadi akulturasi diantara kedua kelompok dan tantangan kelompok kerja antar budaya muncul. Dalam konteks inilah dilakukan penyusunan program pelatihan Resiliency Preparation Program bagi personel CDR PT. ASP. Program yang bermuatan teknis (segala informasi terkait deskripsi pekerjaan, alur kerja, profil daerah lingkar tambang, regulasi kerja), cultural (informasi mengenai aspek kultural dan konteks kerja antara budaya guna menumbuhkan culture awareness), dan coping strategy ini dirancang agar personel CDR dapat beradaptasi dengan lingkungan yang nantinya memiliki daya tahan yang baik terhadap segala tantangan yang dihadapi. Dalam penyusunan program pelatihan Resiliency Preparation Program, peneliti menggunakan beberapa tahap yang diawali dengan Training Need Analysis (TNA). Dari hasil didapatkan kebutuhan akan sebuah program yang dapat membekali setiap personel Divisi CDR yang akan diterjunkan ke Papua. Rancangan yang ada kemudian divalidasi dengan melakukan expert judgement kepada pihak manajemen dan user dari Divisi CDR, yaitu CDR Coordinator, dan juga dengan mengujicobakan langsung modul di lapangan. Tahap perancangan program diakhiri dengan pengolahan data hasil evaluasi baik dari segi reaksi responden uji coba maupun pembelajaran yang diperoleh. Instrumen yang digunakan dalam pengolahan reaksi responden diperoleh melalui lembar evaluasi pelatihan, sementara untuk efek pembelajaran menggunakan pre-post test cultural awarness dan pertanyaan terbuka mengenai apa yang didapatkan dari tiap sesinya. Hasil pengukuran tahap reaksi mengindikasikan responden memberikan respon positif terhadap materi yang disajikan serta metode yang digunakan. Respon yang bersifat masukan diberikan terhadap tampilan materi. Sementara hasil pengukuran kuantitatif cultural awareness tidak disertakan dalam evaluasi kerana minimnya responden, walaupun demikian ada indikasi terjadinya penignkatan berdasarkan data kualitatif yang ada. Selain minimnya responden, kelemahan dari penelitian ini adalah kurangnya responden TNA dari pihak CDR, kurangnya materi nilai budaya Papua, tampilan materi yang kurang variatif, dan minimnya responden uji coba. Hal ini disebabkan karena keterbatasan akses yang dimiliki peneliti. Kelemahan inilah yang mendasari disusunnya beberapa poin rekomendasi untuk pengembangan modul selanjutnya. |