Pesawat udara merupakan salah satu alat transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Namun ada bahaya yang mengancam terhadap penerbangan sipil yang merugikan penumpang, pesawat udara, awak pesawat udara maupun barang yang diangkut. Salah satu tindakan kriminal terhadap penerbangan sipil adalah pembajakan pesawat udara. Tindakan pembajakan pesawat udara adalah ketika seseorang dengan sengaja melakukan tindakan melawan hukum dengan ancaman atau kekerasan, menggunakan intimidasi untuk mengambil alih pesawat udara ketika pesawat udara tersebut dalam perjalanan. Ada beberapa motif yang melatar belakangi pembajakan pesawat udara, seperti meminta tebusan, sakit jiwa, maupun motif politik. Dalam mencegah dan menanggulangi tindakan melawan hukum terhadap penerbangan sipil maupun pembajakan pesawat udara, ada beberapa peraturan hukum internasional, seperti Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1979, Konvensi Montreal 1971, Protokol Montreal 1988, dan Annex 17 ICAO. Ketentuan hukum internasional tersebut berisi mengenai tindakan-tindakan apa saja yang termasuk tindakan melawan hukum yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan, ketentuan mengenai penetapan yurisdiksi berdasarkan negara dimana pesawat itu didaftakan dan diregistrasi, dan ketentuan mengenai ekstradisi. Namun dalam prakteknya, ketentuan hukum tersebut terbentur pada masalah yurisdiksi negara mana yang akan di terapkan dan menimbulkan conflict of jurisdiction jika pelaku pembajakan pesawat udara berada di wilayah negara lain serta menimbulkan permasalahan dasar hukum untuk mengekstradisi pelaku. Selain itu adanya masalah pada penerapan Annex 17 ICAO yang menggunakan tekhnologi canggih dalam pelaksanaanya, yang mungkin memberatkan negara-negara miskin. |