Pelaksanaan hukuman rehabilitasi di Indonesia belum seutuhnya berjalan dengan baik. Masih banyak hakim yang menjatuhkan putusan hukuman penjara ketimbang dengan putusan rehabilitasi. Di dalam Undang-undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 54 dan Pasal 103 sudah mengatur bahwa pecandu dan korban penyalahguna narkotika wajib direhabilitasi dan hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan tersebut. Akan tetapi dalam kenyataannya, hakim jarang sekali menerapkan pasal itu pada saat menjatuhkan hukuman bagi si pecandu. Hal ini disebabkan lantaran karena polisi serta jaksa penuntut umum yang juga dalam proses penyidikan dan penuntutan mendasarkan atas semangat pemenjaraan bagi pecandu narkotika. Penerapan di Pasal 127 yang mengkategorisasikan pemakaian narkotika untuk dirinya sendiri dan wajib rehabilitasi, tidak di hiraukan. Polisi cenderung memakai pasal kepemilikan, penguasaan yang tercantum dalam pasal 111 dan pasal 112. Selain itu, masih kurangnya sarana dan prasarana rehabilitasi yang ada di Indonesia. Pemakai narkotika yang sudah berada dalam taraf kecanduan, memerlukan upaya pengobatan serta pemulihan bagi kesehatannya, bukan hukuman penjara. Hukuman penjara justru akan memperburuk keadaan si pecandu apabila melihat dari sisi kesehatan selain itu kondisi Lapas di Indonesia yang juga telah melebihi kapasitas yang ada, sehingga penjara menjadi penuh sesak. Hal inilah yang menjadi sorotan utama yang harus diutamakan demi terjadinya perubahan di kancah lembaga hukum di Indonesia, terkait kasus pemakaian narkotika. Hak-hak kesehatan yang perlu diperhatikan juga oleh para penegak hukum, dalam memutuskan seseorang pantas atau tidaknya untuk di rehabilitasi. Dengan terpenuhinya hak dari kaum pecandu, maka secara tidak langsung keadilan dapat ditegakan. |