Tindak pidana perkosaan adalah kejahatan kesusilaan yang merupakan dampak dari modernisasi dalam masyarakat yang semakin berkembang. Permasalahan yang diangkat adalah mengenai pembuktian delik perkosaan, dan pada akhirnya bagaimana kekuatan pembuktian visum et repertum sebagai alat bukti yang penting dalam kasus perkosaan di mata hakim, dalam upaya penjatuhan putusan yang adil. Pengertian perkosaan menurut hukum yang berlaku saat ini masih mengacu pada pasal 285 KUHP yaitu “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetebuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Pembuktian perkosaan dilakukan dengan bantuan ilmu kedokteran forensik yaitu pembuatan visum et repertum. Pembuatan visum et repertum dilakukan oleh seorang dokter forensik atas permintaan penyidik berdasar pasal 133 KUHAP. Pembuktian adanya tindak pidana perkosaan dilakukan dengan upaya untuk membuktikan adanya unsur-unsur perkosaan sesuai dengan pasal 285 KUHP yaitu adanya persetubuhan, adanya kekerasan, dilakukan di luar perkawinan. Selain bukti-bukti utama di atas, terdapat juga bukti pelengkap, misalnya cairan mani atau darah di pakaian pelaku dan atau korban yang dibawa saksi mata, serta saksi mata yang memperkuat keterangan perempuan korban. Kekuatan pembuktian visum at repertum pada kasus perkosaan di mata hakim pada hakikatnya berperan amat penting dalam mempengaruhi keputusan hakim. Karena visum et repertum yang dapat membuktikan ada atau tidaknya unsur-unsur perkosaan. Jadi visum et repertum bersifat mengikat hakim, akan tetapi tidak memaksa karena sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut oleh negara kita yaitu sitem pembuktian negatif bahwa selain alat bukti juga harus disertai keyakinan hakim. Jadi haruslah dikembalikan kepada keyakinan hakim sesuai dengan ilmu pengetahuannya. |