Perkembangan perekonomian di Indonesia tidak lepas dari peran serta masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonominya. Kegiatan ekonomi tersebut juga tidak lepas dari peranan bank sebagai perantara keuangan masyarakat (financial intermediary) yang melakukan kegiatan menghimpun, mengolah, dan menyalurkan kembali dana masyarakat dalam bentuk bunga, pinjaman dan lain sebagainya. Dalam hal memberi pinjaman, biasanya bank memberikan kredit atau pun jasa-jasa keuangan lainnya. Pemberian kredit yang diberikan bank bagi nasabahnya tidak diberikan berdasarkan kepercayaan semata tetapi disertai dengan jaminan oleh debitur yang dikenal dalam istilah perbankan sebagai agunan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah mengatur bahwa apabila debitur tidak dapat melunasi hutang-hutangnya maka keditur dapat melakukan eksekusi terhadap harta benda yang dijaminkan sehingga kreditur memperoleh pembayaran atas utang debitur. Namun hal yang sering terjadi adalah ketika debitur melaksanakan kewajibannya dengan baik kepada bank, terdapat pihak lain (kreditur lainnya) yang menginginkan kepailitan debitur. Hal serupa terjadi pada kepailitan PT. Y dengan PT. Bank X sebagai kreditur pemegang jaminan hak tanggungan. Sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka kedudukan hukum PT. Bank X adalah sebagai kreditur separatis. Kepailitan tidak menyebabkan PT. Bank X kehilangan haknya, namun hak tersebut baru dapat dieksekusi setelah masa penangguhan 90 (sembilan puluh) hari berakhir. Adapun penangguhan tersebut pada prakteknya membawa implikasi bagi pemenuhan hak-hak PT. Bank X sehingga diperlukannya tindakan-tindakan hukum bank yang efektif untuk kepentingan bank di dalam pemenuhan hak-haknya. |