Guru memegang peranan penting dalam pendidikan, terutama dalam proses belajar dan mengajar. Walaupun guru bukan satu-satunya faktor yang menentukan dalam kegiatan belajar-mengajar, analisis terakhir menunjukkan bahwa guru tetap merupakan faktor kunci yang paling menentukan, karena proses kegiatan belajar mengajar ditentukan oleh pendidik dan peserta didik (Soeparto, dalam Turin, 2000). Berdasarkan wawancara dengan tiga orang guru sekolah St. Bellarminus (satu mengajar di tingkat SD dan SMA, satu mengajar di tingkat SMP dan SMA, satu pernah mengajar di tingkat SMU dan sekarang mengajar di tingkat SD), mengajar di SMU dinilai lebih melelahkan dan menghabiskan energi apabila dibandingkan dengan jenjang pendidikan di bawahnya. Di dalam kondisi yang seperti itu, guru cenderung rentan terhadap burnout. Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus Nampak pada helping professions (Cox, 1993). Burnout yang dialami oleh guru memberikan dampak negatif bagi diri mereka sendiri, murid, dan system pendidikan (Hughes, dalam Evers, Tomic, dan Brouwers, 2004). Burnout adalah suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi kelelahan (exhausted dimension), dimensi sinisme (cynicism dimension) –dulu disebut depersonalisasi–, dan inefficacy dimension –dulu disebut reduced personal accomplishment– (Maslach & Leiter, 2005). Dalam melaksanakan tugasnya, tidak dapat dipungkiri bahwa guru harus menghadapi sumber stres yang berkaitan dengan pekerjaannya. Pada akhirnya stres yang berkepanjangan akan menyebabkan burnout (Greenberg & Baron, 2003). Menurut Maslach dan Leiter (2005), sumber burnout dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor situasional dan faktor individual. Faktor situasional terdiri dari beban kerja, kontrol, reward, komunitas, keadilan (fairness), dan nilainilai. Faktor individual terdiri dari karakteristik individu dan factor demografik (jenis kelamin, usia, status pernikahan). Guru yang tetap bekerja dalam kondisi burnout akan merugikan diri mereka sendiri, siswa, dan juga sekolah sebagai suatu organisasi. Dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh burnout yang dialami oleh guru, peneliti berpendapat bahwa burnout merupakan suatu fenomena yang perlu diteliti dan ditindak-lanjuti. Untuk itu peneliti mengadministrasikan kuesioner dan melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran burnout pada guru tingkat SMU. Kemudian, peneliti juga melakukan pelatihan terhadap mereka. Berdasarkan hasil analisa tersebut, hasil penelitian yang berupa gambaran burnout pada subjek penelitian, pelaksanaan pelatihan, kekurangan dan kelebihan pelatihan, menjadi masukan untuk peneliti guna membuat modul. Selanjutnya, modul tersebut dapat digunakan oleh pemerhati guru untuk melaksanakan Pelatihan Pencegahan Burnout Pada Guru Tingkat SMU. |