(E) Setiap warga negara berhak untuk melangsungkan perkawinan dan negara berkewajiban untuk menjaminnya, asalkan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-undang Perkawinan). Meskipun sudah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan, namun masih banyak warga negara yg melanggar atau tidak melakukan hal-hal yang telah ditentukan. Hal-hal tersebut salah satunya berkenaan dengan pencatatan perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam, bagi perkawinan yang tidak tercatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama, maka dapat dimohonkan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Hal-hal yang dapat dimohonkan berkenaan dengan itsbat nikah berdasarkan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam adalah dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, perkawinan terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan, dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan. Permohonan itsbat nikah harus bersifat voluntair (tidak ada unsur sengketa), dikatakan demikian karena hasil dari permohonan bersifat menyatakan (declaratoir) atau menciptakan (constitutoire) bukan bersifat menghukum. Dalam persidangannya Hakim Pengadilan Agama akan memeriksa dan menyatakan sah atau tidaknya perkawinan tidak tercatat tersebut dalam bentuk penetapan itsbat nikah. Penetapan itsbat nikah inilah yang akan dijadikan landasan hukum bagi Kantor Urusan Agama untuk mengeluarkan Akta Nikah dengan mencantumkan tanggal perkawinan terdahulu. Namun apabila ternyata hakim menyatakan bahwa perkawinan terdahulu tidak sah, maka Kantor Urusan Agama akan menikahkan kembali pasangan suami istri tersebut. |