D. Communis salus singulis constat. Dasar keyakinan ini menegaskan satu hal: imperatif yuridis dan moral Ajaran Sosial Gereja menugaskan Gereja untuk memerhatikan kepentingan-kepentingan kaum buruh. Panggilan tugas perutusan Gereja ini merupakan bentuk konkrit tanggung jawab Gereja ketika Gereja secara sadar melibatkan dirinya dalam persoalan sosial kemanusiaan. Dalam ranah tersebut Gereja bersentuhan dengan norma-norma hukum sipil yang mengatur hak dan kewajiban segenap warga masyarakat. Berkaitan dengan kepentingan kaum buruh, undang-undang di bidang ketenagakerjaan (Undag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) telah menetapkan berbagai ketentuan hukum mengenai kerja, hak dan kewajiban buruh dan majikan. Ketika Gereja dihadapkan pada persoalan perburuhan, pranata hukum yang harus diikuti dan ditaati adalah hukum positif di bidang ketenagakerjaan. Sebab, baik Ajaran Sosial Gereja maupun Kitab Hukum Kanonik menghargai sepenuhnya otoritas hukum sipil sejauh hal itu dimaksudkan untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan umum (bonum publicum). Undang-undang di bidang ketenagakerjaan telah mengatur cara-cara dan prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam hal pemutusan hubungan kerja undang-undang mewajibkan pihak buruh dan majikan untuk mengawali prosedur penyelesaian melalui bipartit. Jika tidak ada kata sepakat maka undang-undang memberikan kemungkinan penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial. Untuk itu, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh mediator atau konsiliator atau majelis hakim adalah dasar hukum yang dipakai dalam menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja harus sungguh-sungguh memadai agar tidak merugikan kepentingan salah satu pihak, serta mampu mewujudkan penyelesaian yang layak, praktis dan adil. |