(E) Abortus provocatus sebagai sebuah tindak pembunuhan terhadap janin, selama ini sudah diatur dengan baik di Indonesia. Hal ini terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 A, B, I yang sangat memperhatikan hak janin terhadap nyawanya. Akan tetapi kemudian muncullah inisiatif dari DPR untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dimana pada salah satu pasal dari Rancangan Undang-Undang Kesehatan tersebut, yakni pasal 84 ayat 2 huruf c menyatakan bahwa aborsi/abortus diperbolehkan sepanjang kehamilan tersebut akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan yang direkomendasi dari lembaga atau institusi atau ahli/tokoh agama setempat sesuai dengan norma-norma agama. Pasal ini bagi penulis bertentangan dengan pasal 28 A, B, I Undang-Undang Dasar 1945. pasal ini seolah-olah membenarkan pandangan masyarakat bahwa jalan satu-satunya bagi kehamilan akibat perkosaan adalah abortus, padahal masih banyak jalan lain bagi korban perkosaan yang tidak merugikan janin dan korban perkosaan. Korban perkosaan dapat melakukan tindakan contraseptive untuk mencegah konsepsi, kalaupun kemudian korban perkosaan sampai hamil, jalan lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan operasi caesar, dimana setelah operasi sang korban perkosaan tidak dipertemukan dengan anaknya, tujuannya supaya korban perkosaan tidak mengalami trauma di kemudian hari. Tindakan abortus bukanlah solusi yang tepat bagi korban perkosaan, sebab abortus dapat menyebabkan trauma fisik dan psikologis yang hebat, juga dengan melakukan abortus, sang pelaku telah mencabut hak hidup janin yang artinya ia telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang lain yang mengatur lebih khusus tentang hak hidup yaitu: KUHP, Undang-Undang hak asasi manusia, dan Undang-Undang perlindungan anak. |