Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah banyak terjadi sejak dulu, namun justru banyak kasus yang tidak terungkap karena adanya fenomena gunung es dimana kasus yang terungkap hanya merupakan puncak gunung es sementara angka yang sebenarnya justru lebih besar. Banyak di antara kasus-kasus KDRT yang terjadi, menjadikan seorang istri sebagai korban kekerasan. Pengertian mengenai kasus kekerasan yang dialami para istri seringkali tumpang tindih antara sebagai bagian dari kekerasan berbasis gender atau kekerasan dalam rumah tangga. Kedua kasus tersebut menjadikan perempuan sebagai korban namun keduanya memiliki perbedaan. Kekerasan berbasis gender merupakan segala tindak kekerasan yang atas dasar perbedaan gender dan menyebabkan kerugian pada perempuan. Sedangkan KDRT terhadap istri merupakan segala tindak kekerasan yang dilakukan secara sengaja untuk menunjukkan kekuasaan seorang suami terhadap istrinya. Alasan lain yang membuat banyak kasus KDRT yang tidak terungkap adalah kurangnya pengetahuan para istri mengenai KDRT, rasa malu untuk mengungkap dan melaporkan tindak KDRT yang dialami, dan masih kurangnya lembaga-lembaga berkekuatan hukum yang dapat membantu para perempuan dalam kasus KDRT. Kasus KDRT berpotensi untuk dilakukan dan dialami oleh istri dari berbagai lapisan sosial, ekonomi dan pendidikan. Tinggi atau rendahnya status sosial, ekonomi maupun tingkat pendidikan tidak bisa menjadi tolok ukur potensi orang tersebut menjadi pelaku maupun korban KDRT. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Kelapa Gading. Kecamatan Kelapa Gading merupakan kawasan yang telah mengalami kemajuan yang pesat, khususnya di bidang properti dan perdagangan. Kendati demikian, dari banyaknya sarana dan fasilitas yang berkembang di kawasan ini, lembaga bantuan hukum (LBH), Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) maupun organisasi sosial lain yang bergerak untuk membantu para korban KDRT masih belum tersedia. Pengalaman KDRT yang dialami oleh perempuan berpotensi untuk mengakibatkan dampak negatif yang luas dan mendalam dalam diri korbannya. Tidak hanya pada fisik korban, dampak negatif yang lebih jauh dapat dialami pada kesehatan mental korban. Kondisi kesehatan mental dapat dilihat melalui kondisi 4 aspek di dalamnya, yaitu: emosional, intelektual, spiritual, dan sosial. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dalam penelitian ini Scale 2 (CTS 2). Sedangkan metode kualitatif menggunakan teknik wawancara semi terstruktur yang berisi pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi keempat aspek kesehatan mental istri yang menjadi korban KDRT. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah perempuan berusia 18 tahun ke atas yang berstatus istri dan berdomisili di kelurahan Pegangsaan Dua. Melalui hasil penelitian ini, dari 75 orang responden diperoleh hasil berupa: 42,9% menyatakan tidak pernah mengalami KDRT, 38,1% menyatakan mengalami KDRT dalam satu tahun terakhir, dan yang menyatakan pernah mengalami KDRT tapi tidak dalam 1 tahun terakhir sebanyak 8,3%. Melalui hasil wawancara yang dilakukan pada 3 orang korban KDRT, diperoleh hasil bahwa pengalaman KDRT secara umum memberikan pengaruh pada kesehatan mental, baik pada aspek intelektual, spiritual, sosial, dan terlebih pada aspek emosional.menggunakan kuesioner Conflict Tactics |